Wednesday, January 20, 2021

Masa Depan Business News & Media di Indonesia

Masa Depan Business News & Media di Indonesia

Lahirnya World Wide Web tahun 1989 tak ayal jadi sebuah titik awal bagi masa depan news & media, yang mengubah hampir segala sesuatunya menjadi serba digital. WWW juga melahirkan banyak istilah-istilah baru dalam jurnalisme, bermunculannya para penulis independent, blogger, ditambah kebebasan berekspresi kita yang berdampak ke banyak hal, bahkan dampak paling parah berupa polarisasi manusia yang bisa berakibat hancurnya sebuah negara.
Buktinya, di Indonesia saja polarisasi akibat dari hasil disinformasi media karena "kebebasan berekspresi" yg diatur undang-undangpun sudah ada hampir 1 dekade ini belum nemu titik akhirnya. Bahkan baru2 ini Amerika-pun mengalami hal yang sama, lebih parah dari keadaan politik periode sebelumnya. Apalagi peran atau dalang dari ke-chaosan tersebut datang dari seorang Presiden Incumbent.

Faktanya News & Media atau jurnalisme saat ini masih sangat seksi dijadikan sebuah tools untuk kepentingan politik, bukan lagi dijadikan alat untuk mencari keuntungan finansial, bukan murni karena kepentingan bisnis.

Saya bukan ahli jurnalisme, meski saat ini saya mencoba aktif menulis, bukan berarti saya jurnalis. Saya jauh lebih akan melihat ini dari kacamata saya sebagai professional, seorang yang sejak 6 bulan terakhir aktif menjadi seorang advisor di salah satu media online dalam bidang yang saya minati, yaitu teknologi, startup, dan tentu saja leaderships. Agar menjadi contoh bagi team saya, sayapun akhirnya kembali aktif menulis.

Bisnis Media Cetak yang "Declining"

Cerita atau kisah tentang bisnis media cetak yang menurun bukanlah hal yang mengada-ada, tapi ini fakta yang sedang dihadapi oleh beberapa media. Yang sanggup shifting ke digital, yang gak sanggup ya gulung tikar dan banting setir. Yang berhasil shifting ke digitalpun gak lantas hidup perusahaanya jadi membaik, banyak jg dari mereka gagal dan ujung2nya gulung tikar, tapi ada juga beberapa yang masih stay, yaitu media2 besar yang secara bisnis dari awal sudah melebarkan sayap-nya ke business lain, contohnya aja Kompas dengan Kompas Gramedia Group-nya dll.

Dewan Pers Membuat Task Force Media Sustainability

Sebagai regulator, nampaknya PR dari Dewan Pers bukanlah gampang. Setelah diterpa badai arus media abal-abal yang kemudian muncul dengan produk verifikasi dewan pers-nya, dan lantas tetap aja gak membendung arus media hoax. Sekarang muncul lagi sebuah program Task Force untuk mewadahi dan mengawal bagaimana supaya media2 untuk tetap survive. Tapi saya pikir, dengan adanya 2 program yang cukup mencolok ini saya pribadi mulai merasakan positioning Dewan Pers itu apa.

Media, Dewan Pers dan seluruh stakeholder harus bergandengan tangan

Bisnis iklan buat media saat ini masih menjadi anchor, tapi seperti yang kita tahu, bisnis digital advertising sudah banyak kemakan oleh pemain duopoly Google dan Facebook. Hampir 80-90 market share spending iklan digital di Indonesia itu dinikmati oleh 2 giant company asal Amerika tersebut.

Nah ini sepertinya yang sekarang lagi dilakukan Dewan Pers, caranya memang tidak ada yang lain kecuali menjadi kawan atau lawan. Saya lihat di beberapa kesempatan Pak Nuh selaku ketua Dewan Pers sudah sangat baik mengajak diskusi Google dengan membawa misi "Task Force Media Sustainability" yang diharapkan bisa sesuai harapan media.

Google tentu saja kita paham sebuah perusahaan Digital Advertising #1 di dunia yang bisa dibilang gak punya inventory lain selain Youtube, Email. Jadi secara bisnis tidak ada kompetisi langsung dengan Media seperti Kompas, Tempo dan lain2. Bahkan Google dan Media sebetulnya bisa bergandengan tangan dan bekerjasama, karena Google itu hanyalah sebuah enabler yang bisa membawa iklan ke Media.

Saya pikir yang dipermasalahkan bukan itu, yang dipermasalahkan adalah business model dan ekosistemnya yang tidak sesuai harapan Media di Indonesia. Ambil contoh misal detik.com, detik.com bisa dikatakan yang paling sukses untuk mempertahankan bisnis model dan ekosistemnya tetap sustain. Mereka masih menggunakan model rate card yang harganya diatur sendiri oleh mereka, dan pengiklan langsung berurusan dengan detik.com tanpa melalui perantara platform enabler seperti Google. Tapi gak semua orang bisa kayak detik.com. Dia adalah Pioneer situs media online Pioneer, traffic nya udah gede bahkan dia bertahun-tahun menduduki peringkat pertama untuk urusan traffic di kategori Media Online.

Ekosistem Google yang "menyamaratakan" kelas media

Programmatic Advertising yang dibawa oleh Google nampaknya menjadi polemik baru, kaitannya tentu dengan kekhawatiran Dewan Pers mengenai tumbuhnya media abal2 yang sedang diperangi oleh Dewan Pers. Dewan Pers melihat media2 ini tumbuh dan "dinafkahi" oleh Google karena untuk bisa masuk dan dimonetize Google tidak perlu ada verifikasi dewan pers, selama ada konten-nya website tersebut maka website tersebut udah bisa naro iklan Google, jadi emang sepertinya gak ada verifikasi yang ketat dari Google.

Yang kedua, Media besar atau media2 yang terverifikasi di Dewan Pers yang saat ini masih mengandalkan Google Ads jadinya melihat tidak ada eksklusifitas atau perbedaan kelas antara Media Besar dengan Media Kecil bahkan abal-abal. Meskipun Google tidak melihat konteks itu, bahkan di Social Media dan Youtube, siapapun bisa jadi orang terkenal bahkan bisa ngalahin artis yang bertahun2 sudah berkarir di dunia artis.

Tapi kasusnya mungkin beda kalo urusan media, ini urusan media korporasi, bukan perorangan. Makannya dari itu Dewan Pers sudah tepat untuk ikut turun tangan akan masalah ini.

Perlukah ini kemudian dibawa ke ranah politik dan regulated? Bisa saja, tapi seberapa kuat negara kita untuk mengatur itu. Yang pasti opsi ini juga saya yakin sedang dipertimbangkan oleh Dewan Pers.

Sembari menunggu berikut adaah business2 yang dilakukan oleh Media Digital yang ada di Indonesia:

1. Shifting ke Premium Subscription seperti yang dilakukan oleh Kompas.ID, Tempo Digital, dll. Ada juga yang mulai coba mengadopt konsep bisnis model Medium.com
2. Menjadi sebuah perusaan research dan konsultansi, ini juga banyak dilakukan oleh beberapa media digital kita, misalkan Katadata
3. Event Management, apalagi di tengan pandemi, webinar menjadi sangat sering dilakukan oleh Media2 besar, dengan mengandalkan bisnis model sponsorships atau jualan tiket.
4. Creative Publishing, atau bisa jadi creative agency, bikin website, dll.

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search